Sebuah peribahasa Yunani menyebutkan “Scripta manent verba volent”.
Secara harafiah berarti “apa yang tertulis tetap
ada, apa yang diucapkan menguap.” Maksudnya, kata-kata lisan cepat
sirna,musnah, atau hanya bersifat sementara, sedangkan gagasan/ ide/ pemikiran
yang tertlis bersifat kekal, abadi, lestari.
Dalam peribahasa tersebut pada zaman itu bukan
berarti orang Yunani tidak menghargai mereka yang punya kemampuan berolah
vokal, atau berorasi seperti dramawan, deklamator atau orator. Kalau itu,kata-kata biasanya mudah dilupakan
karena tidak meninggalkan bekas (saat itu belum ada alat rekam suara), sedankan
tulisan atau karya tulis umurnya lebih lama karena meninggalkan bekas (pada
lempengan tembikar, keramik, kulit hewan, kulit kayu, daun lontar, logam dan
kemudian dalam perkembangannya kemudian
memang karya tulis mendapat tempat dan penghargaan yang begitu tinggi. Karya
tulis yang dilambangkan atau berbentuk buku menjadi simbol keilmiahan dan
intelektualitas.
Di dalam buku tersebut terkandung karya tulis, pemikiran atau artikel. Sebuah karya tulis atau artikel tidak hanya tertuang dalam buku, melainkan juga tertuang atau ditulis di media massa seperti surat kabar, majalah, jurnal ilmiah atau media onlline.
Dalam lingkup pers atau jurnalistik, artikel adalah sebuah karangan prosa yang dimuat di media massa, yang membahas isu-isu tertentu, topik,persoalan atau kasus yang berkembang dalam masyarakat (lokal, nasional, internasional maupun internasional) secara lugas. Dalam bentuk dan strukturnya, artikel tidak bersifat pribadi dan memiliki cakupan yang sangat luas
Sebuah artikel ditulis dengan maksud untuk menyampaikan fakta, analisis terhadap fakta, penilaian (Setuju atau tidak setuju), dan melontarkan ide atau gagasan pribadi dengan tujuan membujuk, menghibur pembaca atau agar pembaca mengambil posisi tertentu terhadap pokok-pokok gagasan yang terkandung dalam artikel.
Di dalam buku tersebut terkandung karya tulis, pemikiran atau artikel. Sebuah karya tulis atau artikel tidak hanya tertuang dalam buku, melainkan juga tertuang atau ditulis di media massa seperti surat kabar, majalah, jurnal ilmiah atau media onlline.
Dalam lingkup pers atau jurnalistik, artikel adalah sebuah karangan prosa yang dimuat di media massa, yang membahas isu-isu tertentu, topik,persoalan atau kasus yang berkembang dalam masyarakat (lokal, nasional, internasional maupun internasional) secara lugas. Dalam bentuk dan strukturnya, artikel tidak bersifat pribadi dan memiliki cakupan yang sangat luas
Sebuah artikel ditulis dengan maksud untuk menyampaikan fakta, analisis terhadap fakta, penilaian (Setuju atau tidak setuju), dan melontarkan ide atau gagasan pribadi dengan tujuan membujuk, menghibur pembaca atau agar pembaca mengambil posisi tertentu terhadap pokok-pokok gagasan yang terkandung dalam artikel.
Dari
segi siapa yang menulis artikel di media massa, ada dua jenis artikel yang bisa
kita temui di media massa, yaitu :
- Artikel Redaksi
- Artikel Umum
Artikel
redaksi adalah karangan prosa dalam media massa yang ditulis atau digarap oleh anggota redaksi (wartawan
atau redaktur). Artikel umum, adalah karangan prosa dalam media massa yang ditulis
oleh umum (bukan anggota redaksi). Artikel tersebut kerap disebut “opini.” Tema
artikel umum biasanya disesuaikan dengan isu atau topik yang sedang hangat di
tengah masyarakat. (Saat ini seperti isu tentang skandal Century atau 100 Hari
pemerintahan SBY – Boediono).
Sebuah
artikel yang terbit di media massa (surat kabar, majalah, atau media online)
masuk sebagai kategori sebagai produk pers atau jurnalistik. Di dalam sebuah
negara yang demokratis pers memiliki kekuatan dan kontribusi penting buat
peningkatan demokrasi dan peradaban bangsa. Berbagai telaah ilmiah dari
berbagai cabang ilmu telah membuktikan hal itu. Ketika revolusi Perancis, Sir
Edmund Burke, sudah menyebut pers sebagai fourth estate atau yang dalam
idiom politik Amerika Serikat juga dikenal sebagai “the fourth branch of
government.” Kini pers memiliki peranan sangat besar dalam menciptakan “good government” atau pemerintahan yang bersih
dan baik.
Sebuah artikel yang terbit di media massa (surat kabar, majalah, atau
media online) masuk sebagai kategori sebagai produk pers atau jurnalistik. Di
dalam sebuah negara yang demokratis pers memiliki kekuatan dan kontribusi
penting buat peningkatan demokrasi dan peradaban bangsa. Berbagai telaah ilmiah
dari berbagai cabang ilmu telah membuktikan hal itu. Ketika revolusi Perancis,
Sir Edmund Burke, sudah menyebut pers sebagai fourth estate atau yang
dalam idiom politik Amerika Serikat juga dikenal sebagai “the fourth branch
of government.” Kini pers memiliki peranan sangat besar dalam menciptakan “gDalam
perjalanan sejarah bangsa Indonesia, setelah lebih dari 10 tahun era
kemerdekaan pers (terhitung sejak lahirnya UU Pers No. 40/1999, yang terjadi,
kemerdekaan pers di Indonesia terus menerus menghadapi gempuran palu vonis hakim pengadilan. Ada
banyak kasus hukum, oleh putusaan kasasi Mahkamah Agung (MA) telah dijatuhkan
untuk menghukum kemerdekaan pers dan terhadap praktisi pers.
Ada sejumlah kasus kontroversial yang menghukum kemerdekaan pers.
Menyangkut masalah hukum yang terkait dengan penulisan artikel adalah masalah
penulisan opini yang berdampak hukum atau penulisannya masuk dalam jerat hukum.
"good government” atau pemerintahan yang bersih dan baik.
Dalam
masalah penulisan opini atau artikel yang tersangkut dengan hukum adalah kasus
hukum yang menyeret seorang penulis opini yaitu Bersihar Lubis (mantan wartawan
Majalah TEMPO) yang diajukan ke pengadilan karena menulis opini berjudul
“Kisah Interogator yang Dungu” (Koran Tempo, 17 Maret 2007). Bersihar
mengkritik pelarangan buku sejarah oleh Kejaksaan Agung.
Tulisan
tersebut dinilai menghina Kejaksaan Agung dan melanggar Pasal 207, 316, 310
KUHP.
Padahal, pada 2007, pasal pasal KUHP tentang penghinaan terhadap presiden
(Pasal 134, 136 dan 137) sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam
kasus wartawan senior Bersihar Lubis, majelis hakim Pengadilan Negeri Depok
menghukum satu bulan penjara dan membayar biaya perkara. Namun, Bersihar tidak
perlu menjalani hukuman itu kecuali dalam waktu tiga bulan ke depan melakukan
tindak pidana yang sama.
Hakim
menyatakan si penulis opini terbukti menghina institusi Kejaksaan. Tak ubahnya
seperti iklan yang menyesatkan konsumen.
”Penulis opini tetap punya tanggung jawab secara pribadi atas
tulisannya,” kata majelis. (Hukumonline.com, Kamis, 27 Maret 2008).
Hakim
berpendapat penulisan opini berbeda dengan penulisan berita biasa. Kalau dalam
berita biasa, seorang wartawan harus cover both sides dan harus memenuhi
kaedah jurnalistik. Sementara dalam penulisan kolom si penulis bisa menuangkan
apa saja. Sekalipun sebuah kolom opini atau artikel ditulis seorang wartawan
dan pemuatannya tergantung kebijakan redaksi
surat kabar, si penulis tetap tak bisa melepaskan tanggung jawab. Apalagi nama
dan identitas penulis kolom tercantum dengan jelas.Tulisan opini tersebut berisi kritik penulis
terhadap kebijakan Kejaksaan Agung yang melarang peredaran buku-buku sejarah.
Beberapa waktu lalu, Kejaksaan memang melarang edar buku sejarah yang tak
mencantumkan kata PKI dalam uraian peristiwa pemberontakan komunis 1965, yang
kemudian dikenal sebagai G.30.S.
Terhadap hukuman tersebut banyak orang pers menilai vonis majelis telah
merobek-robek rasa keadilan dan kebebasan pers. Pengamat pers Abdullah Alamudi
juga ikut mengecam. Sebab, putusan majelis menjadi ancaman bagi kebebasan
menyampaikan pendapat. Orang yang ikut menuangkan pikiran ke dalam kolom atau
artikel di media massa akan berpikir dua kali karena bisa saja terancam
kriminalisasi, seperti yang dialami Bersihar Lubis.
Menghukum
pidana karya jurnalistik seharusnya tidak terjadi lagi dalam negara yang telah
menganut sistem demokrasi dan menghormati hak asasi warga negara. Pemerintah
diamanatkan oleh konstitusi ikut bertanggung jawab melindungi kemerdekaan pers,
namun ironisnya melalui aparat penegak hukum, pemerintah justru paling aktif
merongrong kemerdekaan pers.
Pemidanaan
terhadap wartawan atas karya jurnalistiknya nampaknya masih terus menjadi
kebiasaan.
Ini mengindikasikan paradigma kemerdekaan pers yang telah diadopsi oleh
pemerintahan hasil reformasi, dan telah dijamin melalui UU No.40/1999, masih
belum dijalankan oleh aparat penegak hukum.
Selain kasus hukum menyangkut penulisan artikel. Di media massa ada juga
rubrik “Surat Pembaca” yang dimuat di surat kabar, media cetak atau media
online. Di Indonesia ada penulis surat pembaca di surat kabar yang diseret ke
pengadilan. Kasus ini bergulir ke pengadilan setelah polisi menganggap tulisan
surat pembaca layak dihukum sebagai pelanggaran pidana pencemaran nama baik.
Dalam
sebuah media massa rubrik Surat Pembaca merupakan wadah demokrasi, akses bagi
publik untuk menyuarakan keinginannya. Partisipasi masyarakat terhadap
kebebasan pers, yang dijamin UU No.40/ 1999 tentang Pers, disalurkan melalui
Surat Pembaca. Surat Pembaca disediakan sebagai ruang untuk masyarakat
menyampaikan informasi kepada publik. Layakkah pengirimnya digugat atas dasar
pencemaran nama baik? Apakah media yang bersangkutan juga bertanggungjawab.
Kasus
hukum Surat Pembaca ini menimpa Pan Esther, 50 tahun seorang pemilik kios di
ITC Mangga Dua yang menulis Surat Pembaca di Harian Warta Kota. Oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Utara dihukum membayar ganti rugi Rp 1 miliar kepada
PT Duta Pertiwi karena dianggap merugikan nama baik perusahaan pengembang PT
Duta Pertiwi.
Kasus
hukum perdata ini berawal dari pembelian kios di ITC Mangga Dua pada 1994. Saat
membeli kios, Esther dan kawan-kawan mengira bakal memperoleh kios berstatus
hak guna bangunan murni. Ternyata HGB yang diperoleh di atas HPL atau hak
pengelolaan lahan.
Esther
dan bersama tiga pemilik kios yang
merasa dirugikan menulis surat pembaca ke sejumlah media. Lalu PT Duta Pertiwi,
menggugat mereka atas tuduhan pencemaran nama baik dengan tuntutan ganti rugi
Rp 11-17 miliar. (KORAN TEMPO, Rabu, 09 April 2008, “Penulis Surat
Pembaca Dihukum Rp 1 Miliar”)
Selain
gugatan perdata, masalah ini juga ditangani polisi berdasarkan pengaduan PT
Duta Pertiwi. Esther bersama tiga rekannya, Winny, Aseng, dan Fifi diperiksa
dan ditetapkan sebagai tersangka. Kasus bergulir ke meja hijau. (Majalah TEMPO
Edisi. 08/XXXVII/14 - 20 April 2008,
“Gugatan Surat Pembaca Berbalas Satu Miliar”)
Putusan hakim PN Jakarta Utara mendapat tanggapan
dari Abdullah Alamudi, anggota Dewan Pers, mempertanyakan keputusan majelis
hakim. Menurut dia, isi Surat Pembaca bukan tanggung jawab penulis, melainkan
penerbit koran. Siapa pun yang merasa keberatan atas surat pembaca, mestinya
menempuh mekanisme yang diatur Undang-Undang Pers, yakni memakai hak jawab di
media yang sama. Kalau masih tidak puas, bisa mengadu ke Dewan Pers.
Tentang Surat Pembaca ini ada dua pendapat yang
berbeda dalam memandang Surat Pembaca. Ada pendapat yang mengatakan, Surat
Pembaca sebagai bagian dari karya jurnalistik, karena dimuat di media massa.
Pendapat sebaliknya ada yang mengatakan Surat Pembaca bukan karya jurnalistik.
Putusan pengadilan dalam kasus hukum tentang Surat
Pembaca kerap berbeda. Pada tahun 2008, Dewan Pers menerima pengaduan dari
beberapa penulis Surat Pembaca yang digugat ke pengadilan. Putusan pengadilan
terhadap kasus Surat Pembaca tersebut tersebut berbeda. Ada penulisnya yang
dibebaskan, juga ada penulisnyayang yang diihukum.
Keputusan berbeda ini muncul karena pendapat yang
berbeda terhadap Surat Pembaca. Jika dianggap sebagai karya jurnalistik,
penanganannya harus merujuk UU Pers. Sebaliknya, jika Surat Pembaca bukan karya
jurnalistik berarti penyelesaiannya bisa
merujuk selain UU Pers.
Terhadap
contoh kasus di atas ada, selain ada kiat yang harus diperhatikan oleh seorang
penulis artikel, opini atau kolom di media massa. Juga sebuah karya tulis atau
opini akan dimuat apa bila memenuhi beberapa kriteria. Seperti pada kasus
Bersihar Lubis, menurut Sri Malela Mahergasari Pemimpin Redaksi Koran Tempo,
tulisannya layak dimuat Koran Tempo karena sudah memenuhi tiga kriteria
yang ditetapkan, yaitu tulisan tersebut mempunyai “newspeg” (cantolan),
tidak menyangkut SARA, dan tulisan tersebut menarik dan perlu diketahui oleh
publik. (ANTARA, 16/01/2008, “Tanggungjawab Penulisan Berita dan Opini
ada pada Pemred”).
Demikian pula dalam menurut Surat Pembaca ada beberapa hal yang harus
menjadi perhatian. Mengutip Hinca Pandjaitan mantan anggota Dewan Pers
mengatakan, rubrik Surat Pembaca harus disediakan oleh media dalam rangka
melayani kepentingan publik (public service obligation). Surat pembaca
merupakan ruang bagi masyarakat untuk memberitahukan informasi kepada publik,
yang belum atau tidak tercover oleh pemberitaan media. Surat Pembaca itu bukan
‘keranjang sampah’ bagi seseorang untuk menghantam pihak lainnya. (Hukumonline.com,
6/8/07, “Ketika Surat Pembaca Berbuah Gugatan”)
Menurut
Hinca Pandjaitan ada beberapa tips menulis Surat Pembaca :
- Konsumen menyampaikan keluhan langsung pada produsen terlebih dahulu.
- Jika materi surat pembaca dirasa menyangkut kepentingan publik, jangan segan untuk menyampaikan kepada media untuk dibuatkan pemberitaan.
- Gunakan bahasa yang positif dan konstruktif.
- Konsumen harus memiliki data dan bukti yang kuat.
- Tulisan surat pembaca jangan menghakimi.
Kiat
untuk untuk menghindari tuntutan hukum, redaksi media massa sebagai ”penjaga
gawang” Surat Pembaca harus lebih selektif membaca Surat Pembaca sebelum
dipublikasikan. Jika isi Surat Pembaca mengandung tuduhan, misalnya, sebaiknya
langsung diminta klarifikasi dari pihak tertuduh. Surat Pembaca dan tanggapan
dari tertuduh kemudian dapat dimuat bersamaan.
Saat
ini banyak suratkabar tidak mencantumkan ketentuan mengenai Surat Pembaca.
Padahal penting untuk melakukannya. Ketentuan tersebut, paling tidak, dapat
menjelaskan soal hak redaksi, hak pengirim surat pembaca, dan hak pihak
terkait.
Pada
akhir makalah ini, ada catatan menarik yang pernah disampaikan mantan anggota
Dewan Pers almarhum RH Siregar, “Antara hukum dan etika memiliki kaitan yang
erat. Apa yang dilarang oleh etika juga dilarang oleh hukum begitu pula
sebaliknya. Sekalipun etika sangat erat hubungannya dengan hukum, namun etika
tidak identik dengan hukum.” Ini harus dicamkan oleh para jurnalis atau
wartawan serta mereka yang ingin menyampaikan pikiran dan pendapatnya melalui
media massa.
Menyangkut
KUHP, ada catatan yang harus menjadi perhatian, walau sudah berada pada era
kemerdekaan pers, pasal-pasal dalam KUHP tetap menjadi momok bagi masyarakat
pekerja pers. Dalam berbagai kasus menyangkut karya jurnalistik, aparat
kepolisian maupun kejaksaan getol memainkan KUHP untuk menjerat wartawan/
penulis artikel. Atau masih ada delik pers yang harus diwaspadai. Di satu sisi,
media sendiri juga belum ma(mp)u mengamalkan hakikat kemerdekaan pers. Anggota Dewan Pers Abdullah Alamudi menilai masih
banyak pihak yang enggan menggunakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang
Pers (UU Pers).
Sebagai saran : Semakin jelas bahwa pasal
penghinaan terhadap penguasa atau badan umum itu sudah tidak relevan lagi. Ini
bertentangan dengan kebebasan menyampaikan keyakinan, pikiran, dan sikap yang
dijamin oleh Pasal 28-E ayat 2 UUD 1945. Aturan itu juga bertabrakan dengan
kebebasan mengeluarkan pendapat yang diatur dalam ayat 3 pasal yang sama di
konstitusi Indonesia.
Daftar
Bacaan :
St.
S. Tartono, 2005, “Menulis di Media Massa Gampang!” Yayasan Pustaka
Nusatama
ANTARA,
16/01/2008, “Tanggungjawab Penulisan Berita dan Opini ada pada Pemred,”
Etika,
No.62, Juli 2008 (News Letter) terbitan Dewan Pers
Hukumonline.com,
6/8/07,
Hukumonline.com,
Kamis, 27 Maret 2008.
Hukumonline.com,
29/12/07, “KUHP Masih Menjadi Momok Kebebasan Pers
Catatan
Akhir Tahun”
KORAN
TEMPO, Rabu, 09 April 2008.
Majalah
TEMPO Edisi. 08/XXXVII/14 - 20 April
2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar