Minggu, 07 Oktober 2012

Kebijakan Publik atau Pembajakan Publik ?


Analisis Kebijakan Publik
Dari Kepentingan Publik hingga Pengesahan Kebijakan Publik
Oleh : Muallimin, S.Th.I

Indonesia sejak terbukanya gerbang demokrasi melalui peristiwa bersejarah runtuhnya rezim otoriter Orde Baru memunculkan banyak sekali aktor-aktor yang berjuang dalam pembangunan kembali bangsa sejak dilanda krisis multidimensi yang berkepanjangan. berbagai kebijakan untuk orang banyak yang ada di negara ini telah ditelurkan oleh para pembuat kebijakan, ada yang mendapat apresiasi dari masyarakat dan banyak juga yang mendapat tentangan dan kecaman dari publik karena publik tidak percaya dengan kebijakan-kebijakan tersebut.
Kebijakan publik merupakan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di masyarakat di mana dalam penyusunannya melalui berbagai tahapan. Tedapat beberapa model kebijakan publik; Institutionalism (Model Kelembagaan), Group Theory (Model Kelompok), Elite theory (Model Elit), Rational Model (Model Rasional), Incremental Model (Model Inkremental), Political systems theory (Model Sistem). Jadi untuk membuat suatu kebijakan publik si pembuat kebijakan dapat mempergunakan model-model tersebut. Terdapat empat langkah dalam kebijakan publik; pertama Penyusunan Agenda, kedua Formulasi kebijakan, ketiga  Legitimasi Kebijakan dan keempat Evaluasi Kebijakan.

Kebijakan publik menurut Jones, haruslah memiliki kemampuan untuk menjawab semua permasalahan yang ada di masyarakat, menyentuh semua aspek permasalahan  yang ada di masyarakat dan perkiraan dari pelaksanaan kebijakan, dan memperhatikan estimasi dampak kebijakan apakah sebuah kebijakan itu dapat memberi dampak positif atau malah sebaliknya dapat menimbulkan permasalahan baru.
Kita bisa melihat contoh dari kebijakan tentang konversi minyak tanah ke gas elpiji. Kebijakan ini di satu sisi memang dapat mengatasi defisit minyak bumi yang ada di negara ini, akan tetapi di sisi lain, konversi ini menimbulkan permasalahan baru yakni dengan banyaknya masyarakat yang menjadi korban ledakan “bom waktu” tabung gas dan selang regulator yang tidak layak pakai dan tidak memenuhi stándar keamanan di tambah lagi kurangnya pemahaman masyarakat kalangan menengah kebawah tentang tata cara penggunaan kompor gas.
Memakai análisis Jones di atas, kebijakan konversi minyak tanah ke gas elpiji ini tentu belum dibahas segala aspek yang terjadi dan belum menyentuh persyaratan  estimasi dampak dari sebuah kebijakan publik sehingga penanggulangan terhadap jatuhnya korban ledakan elpiji kian hari kian  bertambah.
Kemudian, setelah “menumbalkan” banyak nyawa dan harta benda pemerintah mengeluarkan lagi formulasi kebijakan yang dinilai terlambat, karena korban sudah terlanjur banyak bergelimpangan, dan tabung-tabung tidak layak pakai banyak beredar serta regulator berbahaya terlanjur terdistribusi ke khalayak.
Di sisi lain, penulis menilai bahwa kebijakan konversi minyak tanah ke gas ini sudah bisa menekan defisit kekurangan minyak bumi dan meningkatkan ekonomi makro bangsa Indonesia, akan tetapi dengan menumbalkan korban terlebih dahulu akibat dari tabung, selang regulator serta kompor yang asal-asalan.
Tentunya dalam kebijakan dan proposal kebijakan itu semua yang diusulkan sebagai kebijakan publik adalah baik, akan tetapi terhambat karena dan terjadi kecelakaan diakibatkan oleh praktik-praktik korupsi yang belum mereda di negara ini sehingga selang, regulator dan kompor yang semestinya layak dibagikan disulap koruptor menjadi tidak layak pakai dan akhirnya bermuara kepada keganasan ledakan tabung.
Di atas adalah salah satu contoh kebijakan yang belum memenuhi stándar kelayakan karena tidak mencakup segala aspek dan memikirkan estimasi dampak di masyarakat atau bisa jadi sebuah kebijakan konversi minyak tanah ke gas tersebut sudah sangat baik akan tetapi kurangnya pengawalan  terhadap pelaksanaan kebijakan publik tersebut dapat ternoda oleh tangan-tangan jahil para koruptor.
Bickers dan William sudah memformulasikan tentang kebijakan publik haruslah memikirkan analisis biaya manfaat dan telah memperhitungkan berbagai kemungkinan dampak politik kebijakan seperti gambaran tentang pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan. Kingdon  juga menyatakan bahwa suatu kebijakan publik haruslah memiliki kelayakan teknis untuk menghindari ketidakkonsistenan, meyakinkan dari segi kelayakan implementasi, dan berisi penjelasan tentang mekanisme praktis untuk implementasi kebijakan.
Dalam hal kebijakan konversi di atas hanya memikirkan manfaat yang dapat menekan jumlah defisit minyak bumi dan pertumbuhan ekonomi makro tanpa memikirkan biaya yang ditimbulkan dari kebijakan publik tersebut. Analisis ini akhirnya dapat dipakai sebagai barometer penilai kebijakan tersebut bahwa kebijakan konversi itu sama saja dengan sebuah kebijakan yang sia-sia, karena demi keuntungan dari tertekannya defisit minyak bumi dan pertumbuhan ekonomi makro malah membuat Negara merugi dengan mengurusi banyaknya permasalahan yang ditimbulkan oleh peluncuran kebijakan konversi minyak tanah ke gas tersebut melalui peristiwa-peristiwa merugikan yang terjadi dan kembali lagi-lagi Negara dirugikan.
Kebijakan publik yang benar-benar berasal dari kepentingan publik dan bukan dibuat-buat seolah-olah adalah kepentingan publik (manipulasi) untuk mengelabui publik dapat saja terjadi demi melanggengkan kekuasaan. Kebijakan publik seperti ini tentunya sangat bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi walaupun proses demi proses secara procedural telah dilakukan demi menggolkan kebijakan tersebut yang dalam bahasa Palembang-nya “asak Pemerintah boleh gawe bae” atau “pemerintah tejingok begawe” tentu kebijakan publik seperti ini harus dihindari karena sangat berkaitan erat dengan kelangsungan hidup orang banyak, karena salah dalam penetapan kebijakan publik akan berdampak luas baik dari segi ekonomi akibat dari kebijakan publik yang tidak memperhatikan kerugian yang diderita akibat implementasi kebijakan tersebut, dari segi sosial dan budaya karena tercerabutnya nilai-nilai sosial dan budaya dimasyarakat serta dari sisi manapun.
Dalam pengamatan saya, adalah bahwa semua penentu kebijakan publik yang berkaitan langsung dengan kebijakan-kebijakan publik apabila kebijakan itu membawa dampak yang baiik bagi masyarakat maka “pahala politik” dapat diterimanya, dan apabila sebaliknya “dosa politik” akan siap ditanggungnya. Untuk  itulah, demi tercapainya kebijakan publik yang memang betul-betul mensejahterakan rakyat harus  benar-benar berasal dari kepentingan publik, bukan hanya kepentingan elit bangsa yang dibungkus dengan indahnya sebagai kebijakan publik.

Related Posts by Categories

Tidak ada komentar:

Posting Komentar