Minggu, 23 September 2012

Pembatasan (Paksa) BBM

Pembatasan (Paksa) BBM
Oleh : Dedi Rianto Rahadi

ADA kekawatiran sebagian masyarakat khususnya di daerah dengan adanya kebijakan konversi bensin ke pertamaxs. Tinggal menunggu hari, pemerintah berencana membatasi penggunaan premium bersubsidi mulai Oktober 2010 ini. Caranya, pasokan ke stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) akan dikurangi 8 persen mulai 1 Oktober untuk Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten. Sementara mulai tanggal 15 Oktober untuk Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali.  Aturan ini memperbaiki aturan sebelumnya berupa larangan kendaraan keluaran tahun 2005 ke atas tidak boleh menggunakan premium bersubsidi dan harus berganti ke pertamaks.
Pembatasan ini sebenarnya untuk menekan konsumsi BBM bersubsidi yang diperkirakan bisa melonjak dari kuota APBN-P 2010, sebesar 36,5 juta kilo liter. Sedangkan bila tak dibatasi, konsumsi BBM diperkirakan bengkak menjadi 40,1 juta kilo liter.

Kebiasaan pemerintah yang selalu membuat statemen wacana yang selalu menimbulkan dampak maupun ekses yang dapat meresahkan masyarakat kini akan diulang kembali. Terkesan selalu ôdiujicobakanö dengan membuat polemik, bila mud-harat lebih besar dari pada manfaat  baru dihentikan. Timbul pertanyaan dari semua elemen masyarakat, mulai dari yang ber-kantong tebal maupun pas-pasan. Apakah pemerintah ingin mengulangi ôKesuksesanö konversi minyak tanah ke tabung gas. Model antrian mungkin ingin dilihat sebgai fenomena yang mengasikkan bagi sebagian orang lain. Kini konversi jilid II akan dimulai dengan episode bensin ke pertamaxs.
Pemerintah harus mengantisipasi munculnya aksi-aksi masyarakat yang merasa dirugikan dengan kebijakan ini. Sebab, ujung-ujungnya yang paling sengsara dan menderita adalah rakyat kecil. Jika dalihnya adalah subsidi premium salah sasaran dan hanya dinikmati warga yang mampu, kebijakan seperti ini hanya akan menambah keruwetan di masyarakat.
Dalih rakyat kecil tidaklah tepat. Begitu juga pembatasan premium untuk mengatasi kemacetan di jalan akibat terus membeludaknya kendaraan bermotor, tidaklah beralasan. Mengapa masalah di Jakarta dibawa-bawa hingga ke daerah? Membeludaknya kendaraan terutama sepeda motor akibat kacaunya pelayanan angkutan umum, seperti tidak tepat waktu, pelayanan yang buruk, dan permainan harga tiket.
Ketika pasokan dikurangi, lantas terjadi kelangkaan, ongkos angkutan pasti akan naik dan berdampak pada kenaikan harga. Pemerintah harus mengantisipasi efek ikutan akibat pembatasan premium ini karena, bagaimanapun, premium telah menjadi bagian dari kebutuhan hajat hidup orang banyak.
Pemerintah sebaiknya memikirkan hal ini dengan jernih agar tidak dinilai panik, berbagi beban dan cenderung lepas tangan. Berbagai langkah cerdas sebenarnya masih bisa ditempuh pemerintah, karena dari segi teknis, pembatasan itu jelas akan sangat sulit diimplementasikan. Rencana pemerintah ini memiliki banyak kelemahan. Pengalihan konsumsi premium ke pertamax sulit dilakukan di lapangan dan rawan kebocoran.
Efektivitas kebijakan ini pun diragukan karena subsidi untuk premium sudah mencapai 75 persen dari harga pasar internasional. Dengan demikian, keinginan pemerintah untuk mengurangi beban subsidi BBM secara maksimal tidak akan tercapai. Pengguna premium itu bukan orang yang sangat kaya sehingga keinginan pemerintah untuk berbagi beban dengan masyarakat yang berkecukupan tidak tepat sasaran. Orang kaya malah sudah sejak awal menggunakan pertamax. Belum lagi, orang akan merasa ada diskriminasi karena perbedaan kebijakan di setiap wilayah.
Pengurangan subsidi tentu akan memberikan tekanan baru bagi daya beli masyarakat. Pengurangan subsidi premium pada pengguna kendaraan pribadi diprediksi bisa menaikkan biaya BBM hingga 50 persen. Pengurangan subsidi premium tidak berbeda dengan kenaikan harga BBM. Tidak sedikit masyarakat, terutama di Jabodetabek, yang menggunakan kendaraan pribadi bukan karena mereka mampu dan mau, tapi lebih karena dipaksa oleh buruknya sistem transportasi. Ibarat efek domino, masalah pasti akan bergulir lebih jauh. Bahkan, langkah Pertamina tersebut bakal mengancam pertumbuhan industri.
Mekanisme Pasar
Hukum permintaan dan penawaran berlaku juga pada distribusi BBM, semakin banyak kendaraan maka konsumsi BBM-pun akan meningkat sebaliknya bila dibatasi konsumsi BBM maka efek domino akan terjadi pada semua lini industry. Maka dapat dibanyangkan mulai sektor hulu sampai hilir akan mengalami kerugian diberbagai sektor bisnis.
Pertumbuhan sector ekonomi lebih banyak terpusat di pulau jawa dan otomatis  penikmat BBM bersubsidi juga di pulau jawa. Mangapa masalah yang timbul di wilayah tertentu harus berdampak dan ditanggung seluruh negeri. Seperti tidak adil bila pemerintah ômemaksakanö diri membatasi penggunaan BBM khususnya bagi kendaraan pribadi.
Apa sebaiknya yang hatus dilakukan pemerintah? Ada beberapa solusinya yang dapat dilakukan, diantaranya, Pemerintah seharusnya membuat rencana strategis untuk peningkatan produksi minyak mentah nasional. Kilang Pertamina sebenarnya bisa mengolah minyak mentah produksi dalam negeri. Namun sayangnya, dari sekitar 1 juta barrel produksi minyak mentah kita, bagian pemerintah hanya sekitar 600.000 barrel, sisanya milik kontraktor bagi hasil. Pemerintah dengan Pertaminanya seharusnya menempuh upaya yang lebih signifikan, misalnya menggunakan lebih banyak produksi minyak mentah dalam negeri untuk diolah menjadi bahan bakar minyak (BBM). Optimalkan sumur-sumur minyak yang masih dianggap produktif maupun pencarian sumber minyak baru.
Selain rencana strategi peningkatan produksi, pemerintah juga harus semakin giat mendorong diproduksinya bahan bakar alternatif. Jika energi alternatif pengganti BBM itu dapat direalisasi maka akan dapat menghemat dana yang cukup besar. Selama ini pemerintah tampak kurang konsisten dalam pengembangannya dengan tidak mendukung dengan perangkat kebijakan yang jelas.
Terakhir, pemerintah semestinya tetap konsisten menjalankan program penghematan energi. Aturan hemat energi harus benar-benar diterapkan. Dalam urusan ini pun, pemerintah tampak kurang konsisten. Program penghematan energi yang digembar-gemborkan kini seolah-olah tak terdengar lagi. Realisasi programnya tak pernah tuntas. Ketika harga minyak turun, upaya menghemat bahan bakar minyak pun berlalu. Jika penghematan sudah sejak lama dilakukan secara efektif di seluruh bidang, barangkali Pertamina tak bakal babak belur setiap kali harga minyak naik. Begitu pula, pemerintah tak pusing tujuh keliling memikirkan subsidi BBM.
Penundaan rencana pembatasan BBM bersubsidi disikapi Pertamina dengan melakukan upaya agar masyarakat khususnya pemilik kendaraan diatas 2005, beralih ke BBM non subsidi. Salah satunya adalah dengan lebih banyak menyuplai BBM non subsidi ke SPBU. Sehingga jika BBM bersubsidi minim, masyarakat memiliki BBM alternatif.
Alhamdulilah detik-detik terakhir pemerintah akhirnya mencanangkan pemberlakuan langkah konkrit penghematan penggunaan BBM bersubsidi baru mulai dilaksanakan mulai 1 Januari 2011. Tapi hal tersebut tidak akan menyelesaikan masalah bila akar permasalahan itu sendiri belum bisa terpecahkan, yaitu kesiapan pemerintah khususnya pertamina dengan Pertamaxnya serta jumlah SPBU yang menyediakan  fasilitas  pertamaxnya khususnya yang ada didaerah-daerah. Masyarakatpun harus mulai membiasakan diri untuk menggunakan BBM non subsidi dan malu untuk antri dibarisan BBM bersubsidi. Masyarakat butuh kepastian tidak apa-apa harga BBM disesuaikan dengan harga yang wajar  tetapi distribusi lancar dibandingkan dengan memaksakan untuk beralih ke BBM non subsidi tetapi distribusi tidak lancar alias tersendat-sendat. Mana yang mau dipilih.

Related Posts by Categories

Tidak ada komentar:

Posting Komentar