Makna
dan Tantangannya
Ditulis Oleh : L
Weny Ramdiastuti
Disampaikan
pada pelatihan menulis artikel di media Sekolah Demokrasi Ogan Ilir 30 Januari
2010
SURATKABAR
tanpa halaman opini ibarat sayur tanpa garam. Seorang editor koran di Inggris
jaman dulu Manchester Guardian menyebutkan fakta itu mengerikan tapi
opini bebas (disampaikan).
Artinya
apa? Melalui opini yang disampaikan melalui artikel atau kolom, sebuah fakta
bisa disampaikan sedemikian rupa sehingga pesan yang dimaksudkan penulisnya
sampai.
Semua
tulisan nonfiksi disebut artikel. Artikel sendiri diartikan sebagai sebuah
karangan faktual (nonfiksi) tentang suatu masalah secara lengkap, yang
panjangnya tak tentu, untuk dimuat di surat kabar, majalah, buletin, dan
sejenisnya.
Tujuan
dibuatnya tulisan tersebut untuk menyampaikan gagasan dan fakta guna
meyakinkan, mendidik, menawarkan pemecahan suatu masalah, atau menghibur.
Esai,
opini, dan kolom adalah berisi tulisan yang biasa disebut dengan artikel. Esai
sebenarnya sama saja dengan opini. Sebab, definisi dari esai itu sendiri adalah
karangan prosa (bukan menggunakan kaidah puisi) yang membahas suatu masalah
secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya.
Sementara
kolom atau penulisnya biasa disebut kolomnis atau kolumnis. Kolom adalah salah
satu rubrik di media massa yang biasa diisi oleh orang tertentu untuk jenis
tulisan yang membidik tema tertentu.
Artikel
mengupas suatu masalah secara lebih panjang
kolom
lebih menyoroti suatu pandangan, penilaian, penekanan segi atau kecenderungan.
Kolom mendekati tajuk. bedanya kolom disertai nama penulis. Bobotnya ditentukan
oleh nama penulis.
Halaman
opini atau dikenal dengan editorial page wajib dimiliki setiap media massa. Halaman ini diadakan
untuk membedakan dengan halaman lain yang berisikan berita atau news.
Melalui halaman opini, filsafat atau tujuan sebuah suratkabar dapat
disampaikan.
BAGAIMANA
kebijakan redaksional sebuah suratkabar dalam menerima opini dari luar? Apakah
setiap tulisan bisa diterima? Tentu saja tidak. Sripo punya buku suci
sendiri tentang hal ini.
Halaman
opini harus berdiri di atas semua kepentingan pembaca. Berangkat dari demokrasi
di Indonesia yang berlatarbelakang masyarakat majemuk maka sudah seharusnya
halaman opini menjadi wadah kebebasan beropini secara majemuk pula. Yakni,
kemajemukan dalam bersuku bangsa, adat istiadat, kepercayaan/keagamaan dan
aliran sosial politik.
Perbedaan
pendapat, aspirasi dan persoalan di masyarakat harus mendapat ruang untuk
dikaji dan diuji. Dengan demikian, masyarakat diajarkan untuk menghargai
perbedaan dan mengembangkan perbedaan sehingga dicarikan jalan keluarnya.
Suatu
persoalan besar, menengah, dan kecil, ditinjau dari berbagai segi, sehingga
semakin jelas duduk perkara, semakin lengkap seluruh dimensinya, dan semakin
tercapai proporsinya.
Dengan
demikian diharapkan persoalan itu bisa dikontribusikan bagi proses perumusan
kebijaksanaan dan pengambilan keputusan oleh para pemegang tanggung jawab.
Bisa
disimpulkan, sebuah artikel - kolom berperan sebagai forum dialog, dan sebagai
mimbar untuk mengkaji suatu persoalan dari berbagai sisi.
***
TANTANGAN
yang dihadapi oleh pengasuh halaman opini di suratkabar cukup beragam. Secara
eksternal, Indonesia lebih kental dengan budaya lisan daripada tradisi tulis.
Berdasarkan penelitian GlobeScan (2006) untuk BBC,
Reuters, dan The Media Center di Indonesia televisi masih menduduki
peringkat pertama media sebagai sumber berita (56%), peringkat kedua adalah
koran (21%), sementara radio dan internet sebenarnya berada pada posisi
seimbang (9%).
Itu pula
yang dihadapi Sriwijaya Post juga media cetak lokal lain di Sumatera
Selatan. Sejak awal berdirinya pada 1988, Sripo boleh dibilang sebagai
bidan yang melahirkan penulis-penulis artikel dari perguruan tinggi. Khususnya
Universitas Sriwijaya.
Mereka
dicari, ditemukan di perguruan2 tinggi. Sripo telah melahirkan
Fahrurozie Syarkowi, Daud Busroh, Amzulian Rivai, Jalaluddin, Joko Siswanto,
Slamet Widodo, Bernadette, Saut Parulian dll.
Sripo bersikap aktif dan
sedikit agresif untuk mencari penulis-penulis berbakat. Mereka kami data,
diajak diskusi, dan dibuatkan forum untuk membedah suatu persoalan.
Namun
terbatasnya jumlah halaman membuat halaman opini hanya menerima artikel dari
luar seminggu tiga kali. Ada juga karikatur yang diterbitkan seminggu dua kali.
Sementara surat pembaca terbit lima kali dalam seminggu dengan judul hotline.
Kami
melakukan seleksi yang lumayan ketat dalam menerima artikel dari luar. Redaktur
halaman opini sebagai penjaga gawang halaman juga harus bebas dari kepentingan.
Sebab bisa saja karena kenal dengan si penulis maka tulisan penulis tersebut
yang terus dimuat.
Artikel
juga bisa direncanakan terlebih dulu. Mekanismenya bisa melalui rapat pagi atau
rapat sore. Biasanya tema yang kita minta berdasarkan isu yang sedang aktual.
Misal, soal kisruh di tubuh KPU Sumsel. Kalau Sripo menilai bahwa
artikel tidak cukup untuk bisa mencari solusi tentang suatu masalah kami
mencarikan jalan keluarnya melalui forum diskusi. Jadi, halaman editorial
pertama-tama mewadahi aspirasi dari pembaca.
Yang
disayangkan penulis artikel di Sumatera Selatan sejak 20 tahun terakhir ini
tidak meningkat secara kuantitas dan kualitas. Jumlahnya saya perkirakan sampai
saat ini tidak sampai 30 orang.
Meningkatnya
jumlah warga yang berpendidikan pasca sarjana ternyata juga tidak berkorelasi
dengan bertambahnya pengirim artikel. Sementara banyak dosen lebih terjebak
pada rutinitas sehari-hari. Padahal dengan menulis seseorang akan mendapat
pencerahan. Otak yang penuh oleh ide-ide bisa kembali segar dengan menulis.
Beberapa
di antara dosen bila diminta untuk menulis takut salah. Takut tulisannya
dikritik. Padahal menulis itu ibarat orang belajar naik sepeda. Kalau tidak
dicoba tidak akan pernah bisa.
Sripo terus mewadahi
pikiran para penulis antara lain dengan menyediakan tulisan byline yang
menyebutkan si penulis. Isinya, tergantung permintaan Sripo akan suatu
masalah yang sedang hangat. Ada juga kolom analisis berita yang mengomentari
sebuah berita yang sedang aktual pula.
***
BAGAIMANA
NASIB HALAMAN OPINI DI MASA DATANG
PARA
pemimpin redaksi surat kabar di negara‑negara
kawasan
Amerika Utara ternyata punya sikap paling pesimis
terhadap
masa depan surat kabar mereka.
Survei
yang dilakukan World Editors Forum (WEF) bekerja sama dengan
Reuters
dan
Zogby International terhadap 704 pimpinan media
menunjukkan
hanya 72 persen yang mengaku optimistis. Angka ini lebih rendah dibandingkan
dengan tingkat optimisme pimpinan media di Asia (84 persen) dan Amerika Latin
(94 persen).
WEF
mengutarakan, surat kabar harus berani tampil beda tidak hanya melalui liputan
eksklusif melainkan juga dengan kekuatan opini‑opini dan analisis mereka
sebagai tokoh pemikiran.
Hal ini
disebabkan meningkatnya jumlah sumber‑sumber berita dan saluran‑saluran media
baru yang menyiarkan berita‑berita besar.
Saat
diajukan pertanyaan mengenai keharusan melakukan inovasi
redaksional,
khususnya pembaruan konten, 67 persen responden
menyatakan
halaman‑halaman opini dan analisis akan bertambah di masa yang akan datang.
Angka
ini tak jauh berbeda dengan hasil survei yang sama di tahun
2006. Bagi World
Association of Newspaper (WAN), hal ini menunjukkan kesadaran mayoritas
pimpinan redaksi bahwa konten surat
kabar di masa depan akan mengurangi berita faktual, dan banyak mengisinya
dengan analisis dan komentar.
Beberapa
inovasi media masa depan, di antaranya koran transparan dan newsroom.
Koran transparan adalah media cetak yang membuka diri kepada publik pembaca,
bahkan mengajak pembaca berpartisipasi dalam kegiatan redaksional.
Sumber
bacaan:
•
Pers Indonesia Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus
Jakob
Oetama 2001
•
Innovations in Newspapers 2008 World Report
Tidak ada komentar:
Posting Komentar