Masihkah Ada Harapan ?
Oleh : Muallimin,
S.Th.I*
A. Pengertian
Hukum dan HAM
Hukum dalam bahasa Indonesia berasal dari kata yang diserap
dari bahasa Arab terambil dari kata hakama,
yahkumu, hukman. yang bermakna keadilan hampir sinonim dengan kata al-adl yang bermakna menempatkan sesuatu
pada tempatnya yang dalam bahasa lainnya yakni proporsional. Tujuan hukum atau
peraturan dibuat adalah untuk keadilan dan menjunjung tinggi rasa keadilan,
jadi jika ada hukum atau sebuah peraturan yang tidak adil tidak dapat disebut hukum,
misal; seorang koruptor milyaran rupiah hanya ditahan 3 tahun penjara dan
terkena denda dengan proses yang berbelit-belit dan penjara yang mewah. Apakah kenyataan
ini adil? Tentu banyak yang mengatakan tidak, dan seperti inilah yang terjadi
di Indonesia, jika melihat pengertian di atas tentunya dapat disimpulkan bahwa
di Indoensia tidak ada hukum. Bahwa memang benar terdapat banyak pengadilan di
Indonesia, akan tetapi keadilan belum tentu ada.
Hak
Asasi Manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara
kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang
Maha Esa, demikian definisi yang disepakati para ahli HAM dunia. Penulis kurang
sepakat dengan deklarasi HAM pertama kali dicetuskan oleh Negara Inggris,
Amerika, dan Perancis pada abad ke-17, karena pada tahun tersebut, di belahan
dunia lain, ada Hak-hak manusia lain yang ditindas seperti Negara Malaysia dan
lain-lain yang dijajah oleh Inggris yang baru diberikan kemerdekaannya pada
tahun-tahun setelah Indonesia merdeka, terdapat Negara-negara di bagian
Afrika yang dijajah dikekang
kebebasannya oleh Perancis, dan ada juga Negara-negara kulit hitam lain yang
dijadikan budak oleh Amerika. Sejarah Negara Amerika sendiri dipenuhi oleh
gelapnya pembantaian terhadap ribuan warga pribumi Amerika (bangsa Indian) yang
kini mulai jarang populasinya, tentang perbudakan kulit hitam dapat disaksikan
dalam tulisan Malcom X yang dengan gigih memperjuangkan kesamaan hak dan
derajat antara kulit hitam dan kulit putih (Apharteid).
B. Sejarah
Hukum dan HAM di Indonesia
Hukum di Indonesia adalah warisan dari hukum Kolonial yang
hanya mengalami penyesuaian saja dengan kondisi kekinian. Walaupun konsep
Negara kita adalah pancasila akan tetapi warisan tersebut dapat terlihat jelas
dalam tataran praktis yang senantiasa diselipi kata junto dan sebagainya, betapa tidak inovatifnya bangsa Indonesia ini
sehingga untuk memproduksi acuan hukum yang berlandaskan budaya bangsa sendiri
saja susahnya minta ampun, padahal apa yang diwariskan kolonial tersebut belum
tentu senafas dan cocok untuk kita bangsa Indonesia yang majemuk dan terdiri
dari atas suku bangsa. Zaman dahulu Indonesia memiliki banyak kerajaan dan
tentunya mempunyai aturan hukum dan perundangan, demikian juga di Sumatera
Selatan, sebelum terhapusnya pemerintahan marga, yang menjadi landasan hukum
masyarakat Sumatera Selatan adalah kitab Undang-Undang Simbur Tjahaja yang dinilai oleh sebagian ahli demokrasi sebagai
aturan hukum yang berlandaskan demokrasi kontekstual.
Sudah disinggung di atas bahwa hukum adalah sebuah keadilan,
it’s talking a justice. Menurut teori Von Savigny hukum dapat berubah
manakala masyarakat berubah. Jika menganut prinsip teori Savigny diatas, hukum
akan senantiasa mengikuti perubahan masyarakat, ia senantiasa dinamis dan
berubah. Tentunya teori ini tak usah dipermasalahkan lagi, perubahan hukum itu
jelas, karena hukum yang dibuat oleh manusia jelas akan berubah karena
orang-orang pembuat hukum dalam masyarakat juga berubah, apalagi perubahan pola
hidup masyarakat dalam teori ibnu Khaldun membutuhkan jangka waktu yang cukup
panjang sehingga sangat memungkinkan orang-orang perumus hukum tersebut sudah
digantikan karena lanjut usia atau mati. Akan tetapi menurut hemat penulis,
teori Savigny di atas dapat berbalik 180 derajat dengan teori bahwa hukum dapat
memaksa perubahan masyarakat, hukum yang merubah masyarakat dan memang begitu
seharusnya.
Berkaitan dengan itu, HAM juga terbentuk dari rasa
keprihatinan terhadap permasalahan-permasalahan ketidakadilan yang ada di
Indonesia. Sehingga pada tahun 1993 terbentuklah Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM) yang berfungsi sebagai pemberi jaminan perlindungan Hak-hak
asasi manusia di Indonesia.
C. Penegakkan
Hukum dan HAM di Indonesia
Indonesia adalah sebuah Negara hukum yang secara teoretis
memiliki criminal justice sistem, yang terdiri dari, Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan, Kepengacaraan, dan Lembaga Permasyarakatan. Dengan
adanya lima sistem tersebut seharusnya dapat melindungi dan memberikan hak-hak
keadilan kepada seluruh rakyat sesuai dengan sila ke lima dari Pancasila. Akan tetapi
apa yang terjadi? banyak pengadilan akan tetapi keadilan langka ditemui,
Lembaga Pemasyarkatan pun bukan lagi suatu hal yang ditakuti, kita bisa melihat
Tommy Soeharto yang menjadi raja di LP Nusa Kambangan, Kasus Artalyta Suryani
yang menjadikan kamar LP sebagai hotel bintang lima dan sebagainya. Kepolisian
juga mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat, apalagi setelah “peluit”
ditiup oleh Susno Duaji. Kejaksaan demikian juga carut marutnya sehingga entah
beberapa puluh Jaksa yang terjerat kasus penyuapan dan korupsi. Pengacara juga
tak kalah kacaunya, prinsip “maju tak
gentar membela yang bayar” masih laku di kalangan dunia advokasi. Bagi
kebanyakan masyarakat, apalagi masyarakat miskin marginal, Hukum masih dianggap
sebagai mimpi, tajam ke bawah tumpul ke atas.
Demikian juga yang terjadi dengan penegakkan HAM di
Indonesia mengalami goncangan yang hebat pasca tewasnya aktivis HAM Munir
beberapa tahun lalu. Penjajahan oleh bangsa sendiri masih merajalela melalui
perampasan hak tinggal bagi masyarakat miskin tanpa adanya solusi dan relokasi
yang benar. Pedagang kaki lima sering menjadi bulan-bulanan Pol PP. Kasus demi
kasus pelanggaran HAM sering terjadi di depan mata kita tanpa kita dapat
berbuat sesuatu yang berarti, tengoklah kasus Lapindo yang mencabut Hak Ekosob
rakyat Sidoarjo, mereka kehilangan tempat tinggal, harta, kelaparan dan
anak-anak mereka banyak yang putus sekolah, wanita-wanita muda mereka banyak
yang menjadi PSK lantaran susahnya kehidupan, sedangkan orang yang
bertanggungjawab dalam hal ini dengan santai menggelar pesta rakyat dalam
pernikahan mewah anak-anaknya, masih memperoleh jabatan penting dalam
pemerintahan di Republik ini. Belum lagi Sengketa lahan sering merugikan rakyat
karena perusahaan senantiasa dimenangkan, dapat dilihat dalam kasus PTPN VII vs
rakyat desa Rengas, hal ini diperparah dengan penembakan aparat kepolisian yang
seharusnya bertugas memberi rasa aman kepada rakyat bukan malah menembaki
rakyat dengan peluru yang dibeli dengan uang rakyat.
Demi, melihat kondisi yang sedemikian carut marutnya, coreng
morengnya wajah hukum di Indonesia, penulis beranggapan bahwa tidak ada jalan
lain lagi bagi penegakkan hukum dan HAM di Indonesia kecuali dengan diadakannya
sebuah gerakan yang revolutif dan mengakar bisa jadi melalui revolusi
struktural dan kultural, sejalan apa yang disampaikan oleh Dhabi dalam dialog
publik Sekolah Demokrasi Ogan Ilir di Wisma Sekip beberapa waktu silam. Percuma
merubah sistem jika yang bermain adalah orang-orang itu juga, apa gunanya
merubah orang-orang kalau yang menekan kebijakan adalah orang-orang yang sama,
kadang orang-orang yang duduk di pemerintahan adalah orang kiriman, yang sengaja di posisikan untuk mengamankan kepentingan
sekelompok manusia yang tidak beradab demi kekuasaan dan eksistensi mereka.
Sudah saat nya para ahli hukum , penegak hukum, maupun saudara/i yang sedang menimba ilmu hukum, mau berperan aktif memberikan edukasi kepada masyarakat luas maupun lingkungan terdekat. berani menyatakan yang semestinya.yang selayaknya kita harapkan selama ini. Memang sangat sulit untuk memulai langkah awal. tapi, kita semua berkeyakinan bahwa dengan berlandaskan ke tulusan dan semangat keadilan, pasti jalan terbuka lapang. mari kita wujudkan hukum yang adil dan tegas. kalau bukan sekarang, kapan lagi? kalau bukan kita, siapa lagi?.
BalasHapus